KAROMAH BUKAN TUJUAN UTAMA & TERAKHIR DALAM IBADAH
Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”
Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Pemimpin dalam shalat. Imâm adalah “orang yang diikuti”. Ketika hati sudah tersucikan melalui upaya spiritual dan cinta kepada Allah, maka dia pantas menjadi tempat Allah.
Hati ini adalah imâm hakiki, pemimpin sesungguhnya, yang harus diikuti dalam shalat. Hati yang suci (qalb) menjadi sarana untuk membimbing dan memimpin akal (al‘aql) menuju Pengetahuan tentang Allah.
Al-Khidhr a.s. diumpamakan sebagai hati dan Nabi Musa a.s. diibaratkan sebagai akal. Al-Khidhr berkata, “Engkau tidak akan sanggup bersabar bersama ku. Bagaimana mungkin engkau akan bersabar atas hal-hal yang tidak engkau mengerti ?“
(QS Al-Kahf [181]:67-68).
Ketika hati sudah membimbing akal, meski hanya sesaat, maka Pengetahuan hakiki tentang Allah turun ke dalam hati.
Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”
Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”
“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali
Mendengar istilah wali, kebanyakan orang pasti akan berpikir tentang keanehan dan kedigdayaan yang dimiliki oleh seseorang, apalagi jika orang tersebut bergelar “kyai” pasti ia akan identik dengan sebutan wali. Dan setiap keanehan yang muncul darinya itulah yang dinamakan dengan karomah. Namun, masalahnya benarkah bahwa setiap kedigdayaan yang muncul dari seorang kyai, atau orang yang bersurban, berjubah, dan berjenggot dinamakan karomah wali? Kalau tidak, lantas bagaimanakah caranya agar kita dapat membedakan antara karomah sejati dengan karomah imitasi alias tipu daya setan? Dan kemudian apakah mencari karomah itu termasuk tujuan syari’at? Untuk menjawabnya maka simaklah ulasan berikut. Allahul Musta’an.
Definisi Karomah
Manurut bahasa, lafazh (kata) karomah berasal dari كَرُمَ yang berarti kemuliaan. (Al-Mu’jam al-Wasith: 784)
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
”…Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu..” (QS. Al-Hujurot: 13)
Karomah menurut istilah ialah kejadian luar biasa, tidak untuk melawan dan tidak untuk mengaku nabi. Allah ta’ala menampakkan kepada walinya yang beriman untuk menolong urusan din (agama) atau duniawinya (Syarh Ushul I’tiqod Ahlussunnah wal Jama’ah: 9/15, Al-Minhatul Ilahiyah fi Tahdzib Syarh at-Thohawiyyah: 387)
Dalil Karomah Wali
Allah ta’ala berfirman:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ {62} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ {63} لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {64}
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Berkata Syaikh al-Baidhowi rahimahullah: ”Inilah kabar gembira untuk orang yang bertaqwa yang dijelaskan di dalam kitab Allah ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Allah azza wa jalla memperlihatkan kepada mereka berupa impian yang benar serta yang tampak berupa kejadian luar biasa sekaligus kabar gembira saat malaikat mencabut nyawanya”. (Tafsir Baidhowi: 283)
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa seorang wali itu memiliki karomah, baik karomah berupa keimanan dan taqwa –dan inilah sebaik-baik karomah bagi mereka- dan ada pula berupa keajaiban yang kadangkala menyertai mereka.
Selain itu, ayat atau tanda tersebut juga menunjukkan kepada kita bahwa wali yang sebenarnya adalah mereka yang selalu menurut dan mengikuti segala yang dicintai dan diridhoi Allah ta’ala, menjauh dan membenci serta melarang dari apa yang telah dilarang oleh-Nya[1]. Mereka mendapatkan petunjuk berupa dalil yang jelas dari Allah ta’ala, tunduk kepada-Nya serta menegakkan al-Haq yaitu beribadah, berdakwah, dan menolong agama Allah. Inilah wali yang sebenarnya dan mereka itulah yang disebut dengan wali Allah ta’ala. Adapun orang yang berpaling dari al-Qur’an mengingkari dan kafir kepadanya sehingga mereka dikeluarkan oleh setan dari kebenaran menuju kebodohan, kesesatan, dan kekafiran maka itulah wali setan. Allah azza wa jalla berfirman:
”Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”. (QS. Az-Zukhruf: 36)
Kesaktian dan kejadian luar biasa yang terjadi pada seseorang bukanlah ukuran untuk menentukan karomah dari kewalian. Akan tetapi, harus dilihat ketaatan dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam. Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan: ”Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas permukaan air atau melayang di udara maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian cocokkan keadaannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah”. (Syarh Aqidah Thohawiyah: 769)
Apakah Setiap Keanehan Mesti Karomah?
Ketahuilah wahai saudaraku , semoga Allah ta’ala merohmatimu, sesungguhnya tidak semua kejadian aneh dan nyeleneh dinamakan karomah. Bisa jadi itu mukjizat, karomah wali, atau bahkan sihir. Adapun mukjizat maka jelas perkaranya bagi kita lantaran ia merupakan kekhususan para utusan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan untuk membedakan antara karomah wali atau selainnya (keanehan setan/sihir) maka dengan cara berikut:
1. Dilihat pelakunya, apakah pengikut sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ataukah tidak? Karena ulama telah sepakat, jika ada orang yang terbang atau berjalan di atas air, jangan tergesa-gesa dinilai sebagai wali, sehingga benar-benar pelakunya dikenal sebagai orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, melaksanakah perintah dan meninggalkan larangannya. Karena keanehan boleh jadi muncul dari wali Allah azza wa jalla atau musuh-Nya.
2. Karomah wali tidak bisa dipelajari dan tidak dapat diajarkan; berbeda dengan sihir dan tenung, dapat dipelajari dengan belajar atau semedi atau dengan memanggil nama-nama jin dan setan, pelakunya meninggalkan kewajiban seperti wudhu, sholat berjama’ah dan bergelut dengan barang najis dan perbuatan keji.
3. Tanda lain yang dapat dikenal bahwa perbuatan keanehan itu sihir atau perbuatan setan ialah akan terjadi perlawanan satu sama lain, karena memang tujuannya tidak syar’i (tidak sesuai dengan syari’at) tetapi ingin menampilkan kemampuan, tipu daya satu sama lain, berbeda dengan karomah wali Allah ta’ala, tidak akan terjadi perlawanan satu sama lain.
4. Sihir dapat diketahui, sebab pelakunya sering berbohong, menipu, dan mengklaim (mengaku) bahwa dirinya sering mendapatkan karomah. Tujuannya supaya ”diwalikan” oleh manusia, berbeda dengan wali Allah azza wa jalla yang sebenarnya.
5. Sihir dan sulap dapat ditolak dan ditangkal oleh ayat kursi, ayat-ayat Allah azza wa jalla dan do’a yang shohih. (Taqdisul Asykhos fil Fikris Sufi: 2/282-284, Syarh Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah: 9/25-28)
Contoh Karomah Wali
1. Kisah Maryam yang mendapatkan makanan dari Allah azza wa jalla tanpa susah payah. (QS. Ali Imron: 37)
2. Kisah istri Nabi Ibrohim ’alaihissalam, dia adalah perempuan yang sudah tua, tetapi masih dikaruniai anak oleh Allah ta’ala. (QS. Hud: 71-72)
3. Kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Karena mereka tidak mampu menggulingkan batu besar yang menutup pintu gua, lalu masing-masing berwasilah dengan amal sholihnya pada masa lampau. Lalu Allah ta’ala membukakan batu besar tersebut. Ini menunjukkan karomah orang mukmin yang ikhlas beramal karena Allah azza wa jalla. (Lihat HR. Bukhori: 5517)
4. Kisah ashabul kahfi yang tertidur selama 309 tahun di dalam gua. Mereka hijrah di jalan Allah ta’ala, meninggalkan kampung mereka demi menyelamatkan keimanan mereka kepada Allah azza wa jalla dari gangguan orang-orang musyrik.
5. Kisah umar radliyallahu’anhu yang memberikan komando kepada salah seorang panglimanya yang bernama Sariyah bin Zunaim radliyallahu’anhu saat perang di daerah Persia lantaran mereka terkepung oleh musuh dengan mengatakan: ”Wahai Sariyah, naiklah ke gunung!! Hingga akhirnya ia pun segera naik ke gunung dan menjadikan gunung tersebut sebagai benteng pertahanan. Padahal waktu itu Umar radliyallahu’anhu berada di Madinah dan beliau sedang menyampaikan khotbah jum’at di atas mimbar. (Lihat Syarh al-Aqidah al-Wasitiyyah, Ibnu Utsaimin: 2/304)
Dan masih banyak lagi contoh karomah yang lainnya baik di masa para sahabat, tabi’in, dan para ulama sesudahnya.
Mencari Karomah Wali
Karomah wali yang berupa kejadianluar biasa, bukanlah tujuan hidup orang mukmin, berbeda dengan orang tarekat sufi, mereka selalu mencari karomah dan ingin menjadi wali hingga mampu mengeluarkan keanehan. Orang mukmin hendaknya mencari istiqomah karena keanehan bukanlah syarat waliyullah (Wali Allah) dan bukan syarat kesempurnaan iman.
Imam Abu Ali al-Zuzjani rahimahullah berkata:
”Jadilah orang yang mencari istiqomah bukan pencari karomah. Dirimu sibuk mencari karomah padahal Rabb-mu menuntutmu agar mencari istiqomah”. (Al-Minhatul Ilahiyah fi Tahdzib Syarh at-Thohawiyyah: 388)
Dan hal ini sungguh sangat bersesuaian dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Maka janganlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu…”.(QS. Hud: 112)
Kewajiban Bagi yang Menerima Karomah
Seorang mukmin ketika menerima karomah dari Allah ta’ala hendaknya:
1. Mensyukuri nikmat Allah ta’ala yang diberikan kepadanya.
2. Memohon kepda Allah ta’ala tsabat (ketetapan iman)
3. Hendaknya tidak memfitnah (memperdaya) dan terfitnah (terperdaya) dengan karomah yang ada, utamanya apabila karomah itu berupa ujian dan cobaan.
4. Hendaknya berupaya menyimpannya dan hendaknya tidak menjadi sarana ketakaburan dan kesombongan di hadapan manusia karena hal itu akan membawa bencana (Al-Wajiz fi Aqidah Salafish Sholih: 150)
Demikian, semoga bermanfaat bagi segenap saudara-saudaraku seiman. Wallahu a’lam.